Melukis Jejak Perjuangan Ulama

Senin, 01 September 2025



Oleh : Akaha Taufan Aminudin 



Peluncuran buku karya Drs. Husnu Mufid dengan tajuk “Peran Kiai dalam Perang 10 November 1945” yang diterbitkan oleh Menara Madinah, baru-baru ini menjadi momentum bersejarah dalam dunia literasi dan pergerakan budaya Indonesia. 


Acara yang juga diramaikan dengan pembacaan puisi karya Drs. Haji Raden Ismail, Ketua PC PWI LS Surabaya, menghadirkan refleksi mendalam terkait peran para kiai dalam mempertahankan Surabaya serta meneguhkan warisan spiritual dan perjuangan Wali Songo. 


Artikel ini mengupas bagaimana buku dan puisi tersebut menelusuri kembali sejarah yang sering kali terabaikan namun sangat vital bagi identitas bangsa.


Tidak sekadar peluncuran buku, acara yang  berlangsung di dokumen paling menakjubkan di YouTube Senin Wage 25 Agustus 2025 melibatkan Pengurus PC PWI LS Surabaya dan PWI LS Pusat yang lahir 16 November 2023 di pondok pesantren Buntet Cirebon terus bergerak dan menyala.


PC PWI LS Surabaya menyala dan mengagumkan menjadi ajang bedah makna dan jiwa perjuangan para ulama Nusantara. Drs. Husnu Mufid lewat bukunya tidak hanya menyajikan catatan sejarah, tapi juga menggugah kesadaran kolektif bahwa peran kiai dalam perang 10 November 1945 bukanlah sekadar figuran, melainkan aktor utama yang membentuk nalar dan semangat peperangan.


Menara Madinah sebagai penerbit memberikan ruang yang signifikan untuk karya ini, menunjukkan bahwa literasi seputar perjuangan ulama kini semakin mendapat tempat penting di tengah masyarakat yang haus akan kisah-kisah autentik dan menginsipirasi.


Mengiringi peluncuran tersebut adalah pembacaan puisi penuh getar karya KHR. Ismail, yang ditujukan khusus untuk KH. Imaduddin Al Bantani—salah satu figur kiai yang berperan strategis dalam perjuangan spiritual dan kebangsaan. Puisinya tajam, kritis, dan penuh makna, mengungkapkan kemelut identitas dan nilai-nilai yang seringkali diuji zaman.


“Ditengah hiruk pikuk kepalsuan nasab, Keangkuhan dan kesombongan dan keserakahan kau menepuk dada.”


Baris ini menjadi cermin pahit bahwa sejarah dan keaslian identitas bangsa kerap terbelah oleh tipu daya dan manipulasi, terutama di era modern yang sarat dengan disinformasi dan polemik.


Puisi ini juga menegaskan pentingnya mempertahankan warisan luhur para Wali Songo yang menjadi tiang spiritual Indonesia. 

Ini mengingatkan pembaca bahwa kiai bukan hanya sebagai penjaga agama, tapi juga sebagai pengawal nilai-nilai moral dan kekuatan spiritual yang menjadi landasan perjuangan bangsa.


Menarik pula, puisi itu menyentil realita pahit tentang penghinaan kepada ulama dan perpecahan yang terjadi di tengah bangsa:


“Ya Allah aku sedih ulama di hina, Kau katakan buta mata buta hati, Kau katakan ulamaku anjing dan babi.”


Kata-kata ini mewakili keresahan mendalam para ulama yang kerap menjadi korban fitnah dan penistaan, padahal peran mereka amat penting sebagai pilar peradaban dan penjaga harmoni sosial.


Mengapa Buku Ini dan Puisi Ini Penting untuk Kita?


Dalam era modern ini, saat mudah tenggelam dalam pusaran informasi yang simpang siur, karya seperti buku Drs. Husnu Mufid serta puisi KHR. Ismail menjadi cahaya penuntun. Mereka membangkitkan kembali semangat “Laskar Sabilillah”, sebuah panggilan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk melanjutkan perjuangan melawan penjajahan spiritual—yang mungkin lebih berbahaya dibanding kolonialisme fisik.


Melibatkan basis pesantren dan para kiai—yang lama menjadi benteng moral dan sosial umat—acara ini mempertegas bahwa menjaga NKRI tidak hanya urusan politik dan militer, tapi juga urusan kejiwaan dan intelektual.


Pesan untuk Generasi Muda


Puisi dan buku ini mengajak kita semua, khususnya generasi muda, untuk tidak hanya mengenal sejarah dari angka dan tanggal, tapi memahami betapa perjuangan itu menjalar dari ranah spiritual, kultural, dan intelektual. Sudah saatnya kita bangkit, seperti seruan dalam puisi:


“Bangkitlah, Bangkitlah, Bangkitlah, Menerjang ombak dan gelombang, Maju terus sampai darah penghabisan.”


Ini adalah panggilan untuk meneruskan tongkat estafet perjuangan bukan hanya dengan tumpuan tangan, tapi juga dengan keteguhan hati serta intelektualitas yang mendalam.


Peluncuran dan bedah buku “Peran Kiai dalam Perang 10 November 1945” beserta karya puisi KHR. Ismail, bukan hanya refleksi sejarah semata, tapi teguran halus bahwa siapa pun yang mencintai Indonesia harus menghormati warisan spiritual dan kultural bangsa. 


Karena, sejatinya bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang mampu menjaga pahlawan-pahlawan spiritualnya, memperjuangkan nilai-nilai luhur, dan menyatukan berbagai elemen dengan cinta dan kebijaksanaan.


Terima kasih kepada KH. Imaduddin Usman Al Bantani, para kiai, dan para cendekiawan yang kegigihannya menjadi pondasi kokoh keberlanjutan NKRI.


Mari kita sebarkan semangat ini agar semakin banyak yang terinspirasi dan sadar bahwa memperjuangkan bangsa adalah tugas mulia yang menyatukan semua elemen, dari yang lahir di medan pertempuran sampai yang terlahir di ruang-ruang kitab dan pesantren.


Tulisan ini dibuat sebagai refleksi sekaligus ajakan untuk memahami lebih dalam tentang peran kiai dalam sejarah dan masa kini Indonesia, mengutip karya dan puisi yang sarat makna dan semangat kebangsaan.


#PeranKiai #LaskarSabilillah #10November #PahlawanBangsa #NKRIHargaMati


Rabu Legi 27 Agustus 2025

Akaha Taufan Aminudin 

Sisir Gemilang Kampung Baru Literasi SIKAB Himpunan Penulis Pengarang Penyair Nusantara HP3N Kota Batu Wisata Sastra Budaya SATUPENA JAWA TIMUR


#SatuPenaJawaTimur

0 komentar:

Posting Komentar

About This Blog

Blog Archive

  © Blogger template On The Road by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP