Sunan Panggung 2

Kamis, 15 Agustus 2013


Kisah Sunan Panggung (2)

Menempuh Jalan Kegilaan kepada Allah


Sunan Panggung memiliki kegiatan ibadah yang cukup berbeda dengan para wali. Oleh karena itu dianggap sesat secara syariat. Namun dia sendiri meyakini tidak sesat dan benar adanya dalam menjalankan ibadah. Berikut ini kisah hidupnya.

Tidak saja menghindari salat di masjid, malah sering mencemari masjid membawa anjing piaraan, binatang yang sangat jorok, liurnya najis. Jalan yang ditempuh Sunan Panggung "jalan kegilaan", Tariq Majnun Rabbani. Gila karena tergila-gila kepada Tuhan.
Linglang-linglung lupa daratan, terbenam senang dalam nikmat dahsyat. Kegilaannya itu pada mulanya ditujukan oleh ketidakaktifannya sendiri, sikap acuh tak acuh pada hukum. Para wali menuduh Sunan Panggung telah menyingkir dari ajaran agama, tata syariat dilalaikan.
Para santrinya malah menyebutnya, Sunan Panggung. Sunan yang hidup di tengah hutan dengan pohon-pohon berbatang besar, pang-gung atau cabang besar. Sunan, Susuhunan, Susunan, atau Sinuhun, "Dia yang Dijunjung". Gelar ini sesungguhnya khusus untuk hierarki wali Islam yang memiliki wilayah perdikan dan sebutan bagi penguasa tertinggi Mataram.
Para santrinya sangat menghormati, tunduk dengan segala perintah dan mengikuti semua ajarannya. Para santri diajari mencari kehidupan yang sempurna, kesempurnaan yang benar-benar sempurna. "Manusia tidak lain hanyalah jasad-jasad mati yang dipenuhi oleh nafsu lauwamah, amarah, sufiah, dan mutmainah.
Kita lepaskan nafsu-nafsu itu karena di tengah-tengah nafsumu bertahta sirr atau rahasia yang tersembunyi, roh dalam jiwa, kesempurnaan yang benar-benar sempurna." "Inggih, Sunan." "Wayang dan bayangan harus menyatu dalam satu jiwa. Roh dalam jiwa memainkan mahkluk-makhluk atas kehendak-Nya." "Inggih, Sunan."
"Sejatinya yang memerintah kita bukanlah tubuh kita, tetapi roh dalam jiwa." "Inggih, Sunan." "Seperti Kresna yang memerintah kerajaan, hakikatnya bukan Kresna. Tetapi Kresna Dwarawati. Kresna yang di dalamnya bertahta roh Wisnu. Kresna titisan Wisnu." "Inggih, Sunan." "Bebaskan roh kalian dari ikatan hukum-hukum yang menghalangi kebebasan roh yang menuju dan menyatu dengan Tuhan." "Inggih, Sunan." "Hakikat hidup abadi baru dimulai sesudah mati."
Mendengar kalimat terakhir, para santri secara serentak tiba-tiba memukuli dirinya sendiri. Menyiksa dirinya sendiri, membentur-benturkan kepalanya di sembarang tempat sambil berteriak, "Aku ingin mati.... aku ingin mati!" "Aku ingin bunuh diri!" Desa Ngundung, daerah tempat tinggal Sudan Panggung menjadi gempar.
Para santri Sunan Panggung mencari mati. Mencari orang yang mau menolong untuk membunuhnya. Semua orang diteror agar penduduk menjadi marah, ini suatu jalan untuk mencari kematian. Melihat tingkah santri-santrinya, Sunan Panggung menjadi bingung, dia berlarian mengejar dan memanggil para santri, sambil berteriak, "Bunuh diri dosa besar!"
Teriakan Sunan Panggung menghentikan polah dan perilaku para santri. Secara serentak para santri menghambur mendekati Sunan Panggung dan berlutut mengelilingi. Para santri merunduk dan terdiam, suasana menjadi hening. Beberapa saat setelah larut dalam diam, Sunan Panggung mengajak santri-santri melepaskan roh dari badannya. Kesengsaraan dunia ini tidak lain suatu kegilaan, orang-orang mencari kebutuhan badaniah tanpa memperhatikan kebutuhan rohani.

Mendapat Hukuman

Orang-orang mencari kenikmatan, namun hanya penderitaan yang dijumpai. Manusia bingung karena tidak mengenal dirinya sendiri karena dijadikan buta oleh hawa nafsu. Mencari ilmu suci tidak mungkin diperoleh dengan alat pancaindra, karena sifatnya yang kotor, najis, dan palsu.
Kebaruan adalah kepalsuan, kekotoran, dan kenajisan, yang segera hancur bersama-sama tibanya ajal. Hidup sesudah lahir adalah kebaruan, maka itu palsu, najis, dan kotor. Hidup sesudah kelahiran adalah kematian yang sesungguhnya. Kedaaan kematian itulah yang membuat manusia tidak bisa bebas dari nafsu, kebohongan, kebutuhan kekuasaan, makan, minum, bahkan salat, puasa, zakat, haji.
Kembalinya manusia ke asal dari mana ia lahir, sesudah ajal tiba nantilah hidup yang sesungguhnya, ketika manusia tidak lagi membutuhkan apa pun, termasuk keinginan, karena keinginan adalah awal dari kesengsaraan. Di mata Sunan Panggung para wali telah keliru memanjakan pemerintahan yang tidak adil, menindas, dan korup.
Makna tidak memiliki kekayaan apa-apa dalam bahasan dan perenungan tanpa adanya pemikiran. Syekh Siti Jenar, sebuah perlawanan terhadap para wali yang mendukung Demak. Maka oleh penguasa ajaran Syekh Siti Jenar dianggap bukan hanya sesat, tetapi juga mengganggu ketenteraman masyarakat dan mengancam stabilitas kerajaan Raden Patah.
Karena gagal membujuk, atas nama Raja Demak, Dewan Agama menetapkan hukuman mati bagi Siti Jenar. "Berbadan roh". Sunan Panggung berguman seperti mendengung. Para santri menirukan apa yang diucapkan Sunan Panggung secara bersama dan berulang seperti berzikir. "Berbadan roh" "Aku bukan Siti Jenar, aku Sunan Panggung, kesempurnaan yang benar-benar sempurna.”
Para wali mengajarkan hukum syar'i, tetapi tidak memahami lambang-lambang. "Para santri tenggelam dalam ekstase kegilaan, jagad suwung, angin seperti berhenti berembus lari ke awang-awang dan uwung-uwung. Jagad menjadi pertapaan sunyata, bumi resah! Sunan Panggung mencari ilmu kesejatian.
Berguru pada Sunan Giri Prampen, tatkala diajari ilmu sejati, usianya baru tujuh belas tahun. Sejak saat itu sering menyiksa raga, bertapa. Sunan Panggung mengaku berbadan rohani. Para wali menyebut Sunan Panggung sebagai orang yang tidak senonoh, tak pantas, dan anarkis, bahkan teroris, menjadi simbol antitatanan.
Pengakuan Sunan Panggung dan perilaku santri-santrinya membuat para wali geram. Para wali menuduh Sunan Panggung mewariskan suluk liar mengingkari semua tatanan atas nama anarki jalan kegilaan. Menyingkap tabir rahasia, menyurat yang tersembunyi. Setelah mempertimbangkan pendapat para wali, Sultan Demak memutuskan Sunan Panggung dihukum dengan dibakar, pati obong, di Alun-alun Demak.
Mendengar keputusan majelis para wali Sunan Panggung tidak menampakkan ketakutan, bahkan menantang keponanakannya, Sunan Kudus, untuk segera menyalakan unggun. Sebelum berjalan menuju api pembakaran, Sunan Panggung minta disediakan tinta dan kertas dua bendel.
Sultan Demak dan para wali semakin bingung, permintaan Sunan Panggung sangat aneh. Sunan Panggung berjalan menuju api pembakaran, tidak ada kata lain yang terucap dari mulutnya selain kata, kebenaran. Api membumbung ke angkasa, Sunan Panggung bergegas naik ke atas unggun dan dua anjingnya yang setia mengikuti, terjun ke dalam api. Matahari semakin mengecil, Gunung Muria kembali menyembul, angin bergegas dari awang-awung dan uwung-uwung melintasi Alun-alun Demak. HUSNU MUFID



Read more...

Syekh Atas Angin 2


Kisah Syekh Natas Angin (2)

Menundukkan Angin Topan di Laut

Setelah mendapat restu dari ayahandanya, Daeng Mangemba Nattisoang pun segera ikut berlayar bersama Kyai Sulasi. Dalam perjalanan dari Gowa menuju Selat Malaka, kapal yang ditumpangi Kyai Sulasi berangkat dari Pammolingkang menuju Laut Jawa untuk bergabung dengan "Laskar Pati Unus" di Pelabuhan Jepara. Berikut ini kisahnya.

Dari Pelabuhan Jepara selanjutnya armada Demak yang dipimpin oleh Pangeran Pati Unus akan berangkat secara bersama-sama ke Selat Malaka. Tercatat dalam buku Sejarah Nasional Indonesia III (Nugroho Notosusanto,1993 : 50), bahwa kekuatan armada Demak yang dikerahkan ke Selat Malaka berjumlah 10.000 prajurit yang mengendarai 100 jung (kapal).
Rute yang ditempuh adalah: Pelabuhan Jepara, melewati perairan Selat Bangka, Selat Berhala, perairan Riau, dan akhirnva menuju Selat Malaka. Ketika armada Demak sampai di perairan Selat Berhala (perairan di sebelah barat Pulau Singkep), armada Demak terhambat oleh amukan badai topan. Akibat serangan badai tersebut, beberapa kapal armada Demak mengalami kerusakan, bahkan ada kapal yang terbalik sehingga prajuritnya tercebur ke laut dan akhirnya tewas.
Melihat keadaan yang sangat membahayakan itu, Daeng Mangemba Nattisoang cepat mengambil inisiatif dan segera bertindak. llmu "Menolak Angin" yang dikuasainya segera diamalkannya Atas izin Tuhan Yang Maha Kuasa, angin topan tatas (berhasil dihalau) oleh Daeng Mangemba Nattisoang sehingga akhirnya armada Demak bisa melanjutkan perjalanan sampai ke Selat Malaka.
Oleh sebab jasanya berhasil "mengatasi" angin topan yang menggila tadi, Pangeran Pati Unus berkenan menganugerahkan nama sebutan "Pangeran Penatas Angin" sebagai pengganti nama Daeng Mangemba Nattisoang yang agak sulit diucapkan oleh lidah orang Jawa.  Nama ini sesuai dengan nama gelar dari negeri asalnya Daeng "Mangemba" Nattisoang, bahasa Makassar artinya "Pangeran yang menghalau angin”. Nah, sejak saat itu nama "Pangeran Penatas Angin" atau ”Pangeran Natas Angin" menjadi lebih dikenal oleh masyarakat luas hingga sekarang.
Setelah badai topan reda, akhirnya armada Demak berhasil rnencapai Selat Malaka. Perang besar antara armada Demak dan armada Portugis pun tidak terelakkan lagi. Tercatat dalam sejarah, perang terjadi pada tanggal 1 Januari 1513. Dalam perang tersebut armada Demak mengalami kekalahan telak. Dari 100 kapal dengan 10.000 prajurit, hanya tinggal tujuh buah kapal dengan sekitar 700 prajurit yang selamat dan kembali ke Jawa.
Sungguh pilu hati Pangeran Natas Angin menyaksikan kekalahan tragis armada Demak tersebut. Senjata dari kapal-kapal Portugis dirasakan terlalu berat untuk dilawan. Daya bunuh meriam dari kapal-kapal Poilugis sangat besar, sehingga dalam waktu yang singkat saja bisa menghancurkan puluhan kapal-kapal armada Demak dan menewaskan ribuan prajuritnya.
Peristiwa tersebut, numbuhkan rasa simpati Pangeran Natas Angin terhadap armada Demak, dan memuncuIkan anti pati (kebencian) terhadap orang-orang Portugis.
Terdorong oleh rasa simpatinya terhadap armada Demak yang semuanya adalah orang-orang Islam dari Jawa, akhirnya Pangeran Natas Angin memutuskan untuk berhijrah ke Demak. Ia tidak mau pulang ke Gowa, melainkan terus ikut kapal Kyai Sulasi pergi ke Jawa untuk berguru ilmu-ilmu agama lslam sambil nrengabdikan diri di Kerajaan lslam Demak.

Murid Sunan Kalijaga
Sudah bulat tekad di dalam hati Pangeran Natas Angin untuk berhijrah ke Demak meninggalkan tanah kelahiran dan sanak keluarganya, meninggalkan segala kemewahan dunia sebagai putera raja, juga meninggalkan tradisi spiritual yang sangat pekat diwarnai oleh ketaatan ajaran kepercayaan leluhur di Kerajaan Gowa secara turun temurun.
Keterlibatannya dalam membantu perang besar antara armada Demak dengan Portugis di Selat Malaka telah memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga bagi Pangeran Natas Angin. Bahwa ternyata, kebahagiaan hidup itu tidak dapat dicapai hanya melalui kemewahan harta dunia. Orang bisa mencapai kebahagiaan hidup yang sempurna, justru setelah ia mampu "meninggalkan keduniawian" dengan ikhlas.
Pendapat ini dipahaminya melalui peristiwa nyata, yang ditangkap dari sikap ksatria yang telah dicontohkan oleh ribuan prajurit Demak yang telah gugur dalam perang besar melawan penjajahan Portugis di Selat Malaka.
Selama dalam perjalanan ke Jawa, Pangeran Natas Angin memperoleh banyak penjelasan berharga dari Kyai Sulasi (l Galasi), bahwa para prajurit Demak sanggup berperang dengan gagah berani dan mereka rela berkorban apa saja demi membela kebenaran dan keyakinan agamanya (lslam). Dalam pandangan lslam diyakini, bahwa "cinta tanah air'' adalah sebagian dari iman kepada Allah SWT.
Orang-orang portugis, di mata prajurit Demak dipandang sebagai Bangsa asing pendatang yang ingin menjajah dan menguasai Negeri-negeri di Nusantara. Dengan melakukan politik monopoli perdagangan di Selat Malaka, orang-orang Portugis terbukti sudah mengganggu dan mengancam kepentingan umum. Maka berperang melawan mereka itu wajib hukumnya, dan nanti mati di dalamnya adalah syahid (mati di dalam perjuangan membela kebenaran dan keadilan).
Kyai sulasi menjelaskan kepada Pangeran Natas Angin, mati syahid adalah dambaan bagi setiap orang Islam karena dijanjikan oleh Allah akan memperoleh pahala surga. Surga adalah sebaik-baik balasan dari Allah di alam akhirat kelak, dan surga Allah hanya bisa diraih seseorang melalui perjuangan dan pengorbanan yang sangat besar. Surga Allah itu akan ditemukan kelak di alam akhirat, tetapi jalannya harus dicari dan diperjuangkan sejak kita masih hidup di dunia ini melalui amal perbuatan dan ibadah-ibadah sesuai ketentuan agama.
Para prajurit Demak yang beragama Islam melihat bahwa perang besar melawan orang-orang Portugis adalah "jalan" untuk menuju surga Allah. Itulah sebabnya mereka berbondong-bondong menempuh jalan secara ikhlas, semata mencari ridlo Allah.
Begitulah, selama dalam perjalanan menuju Jawa tersebut Pangeran Natas Angin telah banyak bertukar wawasan tentang “kemuliaan hidup” dengan Kyai Sulasi, sahabat barunya. Dari perbincangannya dengan Kyai Sulasi itu hati Pangeran Natas Angin mulai tertarik ingin mempelajari agama Islam lebih dalam lagi.
Lantas keinginan hatinya itu disampaikannya tanpa ragu kepada Kyai Sulasi. Kyai sulasi menyarankan jika Pangeran Natas Angin ingin mempelajari lebih dalam lagi tentang agama Islam, maka sebaiknya ia berguru kepada Kanjeng Sunan Kalijaga. Namun untuk bertemu dengan Kanjeng Sunan Kalijaga itu, tidak gampang karena beliau sering berpindah-pindah tempat untuk mengajarkan agama lslam kepada para penduduk. Kyai Sulasi memperoleh kabar, bahwa terakhir kali Kanjeng Sunan Kalijaga berada di Kadipaten Tegal. Oleh karena itu ia segera membawa kapalnya langsung menuju ke Pelabuhan Tegal. Setelah kapal berlabuh di pelabuhan tegal, Pangeran Natas Angin berpisah dengan Kyai Suiasi. Selanjutnya Pangeran Natas Angin bermukim di pesisir tegal hingga dua tahun.
Mengingat bahwa Pangeran Natas Angin itu adalah seorang pemuda keturunan raja tentu kepergiannya ke tanah Jawa sudah berbekal berbagai macam ilmu dan berbudi pekerti yang luhur. Maka tidak mengherankan jika dalam waktu yang singkat saja Pangeran Natas Angin sudah dapat hidup membaur dengan masyarakat setempat. Pangeran Natas Angin adalah seorang pemuda gagah yang berwatak keras, namun hatinya lembut. Ia gemar memberi pertolongan kepada siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Orang yang sakit diobati, orang miskin disantuni, orang yang lemah dibela, budak belian dimerdekakan.
Demikianlah perlakuan Pangeran Natas Angin kepada para penduduk di sekitar Pantai tegal pada waktu itu. Sikap dan perlakuan Pangeran Natas Angin membuat dirinya mudah diterima dalam bergaul dengan orang banyak. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat Pangeran Natas Angin sudah dikenal dan dihormati penduduk setempat. Sambil menjalani kehidupan sehari-harinya di pantai Tegal, Pangeran Natas Angin terus-menerus memasang telinga untuk mendengar khabar dari warga tentang keberadaan Kanjeng Sunan Kalijaga. Setelah bermukim di pantai Tegal selama dua tahun, akhirnya Pangeran Natas Angin melanjutkan perjalanan mencari Sunan Kalijaga ke Negeri Demak. Tahun 1515 M Pangeran Natas Angin sampai di Demak.
Singkat cerita Pangeran Natas Angin Akhirnya bertemu dengan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga bersedia membimbing Pangeran Natas Angin dalam mempelajari keluasan ilmu-ilmu Islam, tetapi dengan syarat Pangeran Natas Angin harus lulus ilmu pandadaran atau ujian terlebih dahulu. maksud diadakannya ujian ini untuk mengetahui kemampuan awal serta untuk mengukur seberapa besar kemantapan hati Pangeran Natas Angin ingin berguru kepada Kanjeng Sunan Kalliaga. Dengan mengetahui kemampuan awal siswa, maka sang Guru akan dapat memberikan pelajaran yang tepat dan bijaksana kepada siswanya. HUSNU MUFID



Read more...

Syekh Atas Angin 1


Syekh Natas Angin (1)

Putra Raja Kerajaan Goa Sulawesi

Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa adalah berkat dukungan  Walisango. Namun belum banyak yang mengetahui  Pangeran Natas Angin yang berasal dari Kerajaan Gowa, Makassar Sulawesi Selatan yang ikut memperjuangkan kejayaan kerajaan Demak Bintoro. Berikut ini kisahnya.

Pangeran Natas Angin aslinya adalah seorang bangsawan yang berasal dari Kerajaan Gowa di Sombaopu, Makasar, sulawesi selatan. Lahir pada tahun 1498. Siapa areng ri kale (nama kecilnya) tidak diketahui, sedang areng paddaengang (nama gelar kebangsawanannya)  adalah Daeng Mangemba Nattisoang.
Ayahanda Daeng Mangemba Nattisoang (Pangeran Natas Angin) adalah Raja Gowa ke-9 bernama Karaeng Tumapa’risi Kalonna yang memerintah Kerajaan Gowa pada tahun 1491 – 1527. Ibundanya bernama I Malati Daeng Bau’, puteri dari salah seorang pembesar kerajaan Tallo yang tinggal di daerah Marusu’.
Konon isteri Raja Gowa ke-9 itu banyak. Dari perkawinannya dengan I Malati Daeng Bau’, hanya menurunkan seorang putera yaitu Daeng Nattisoang. Karena ibunda Pangeran Natas Angin ini hanya seorang puteri pembesar kerajaan Tallo atau bukan puteri raja, maka darah kebangsawanannya dianggap kurang penting. Dengan demikian darah kebangsawanan Pangeran Natas Angin ini-pun dalam tata urutan Raja-raja Gowa dianggap kurang tinggi. Karena termasuk golongan anak sipuwe (anak separoh) dan bukan merupakan anak pattola (putera mahkota) yang paling memenuhi syarat berhak untuk menggantikan raja.
Masa kecil Pangeran Natas Angin hidup dalam lingkungan keluarga kerajaan Gowa yang taat pada agama/kepercayaan leluhur. Saat itu pengaruh Islam sama sekali belum masuk ke dalam lingkungan keluarga kerajaan Gowa. Sejak kecil Pangeran Natas Angin sudah getol mempelajari berbagai macam ilmu kanuragan dan ilmu kesaktian. Guru yang membimbingnya sejak kecil bernama Daeng Pomatte'. Daeng Pomatte' ini adalah kakak kandung I Malati Daeng Bau', ibunda Pangeran Natas Angin.
Setelah I Malati Daeng Bau' dijadikan selir oleh raja Gowa ke-9, Daeng Pomatte' ikut pindah ke Gowa dan diberi kedudukan sebagai “Juru tulis" kerajaan. Jadi guru Pangeran Natas Angin ini sebenarnya masih termasuk mamak atau pamannya sendiri
Sejak usianya tujuh tahun ia sudah sering diajak oleh gurunya pergi ke suatu tempat -yang dilalui angin kencang, berjurang terjal di antara bukit-bukit yang menjulang tinggi di dekat pantai Selat Makassar. Di tempat yang dilalui angin kencang inilah Pangeran Natas Angin berlatih Ilmu kanuragan dan ilmu tenaga dalam dengan cara berlatih menolak atau menghalau angin dengan kedua telapak tangannya.
Berkat kegigihan semangat, ketekunan, keyakinan, serta penghayatannya dalam berlatih ilmu, akhirnya pangeran Natas Angin memperoleh keberhasilan. Pada usia sembilan tahun sudah berhasil menguasai ilmu "tolak angin", yaitu kemampuan menghalau angin dengan kedua telapak tangannya sehingga angin berbalik arah.
Kemampuan Pangeran Natas Angin dalam menghalau angin ini akhirnya diketahui oleh orang banyak, termasuk juga diketahui oleh pihak keluarga kerajaan. Karena kemampuannya "menghalau" angin tersebut, lantas masyarakat adat Kerajaan Gowa memberinya nama sebutan "Mangemba", bahasa Makassar berarti "menghalau". Sejak saat itu namanya dikenal dengan Daeng Mangemba Nattisoang, bahasa Makassar berarti "Pangeran yang Menghalau Angin"

Laskar Pati Unus

Meskipun Pangeran Natas Angin hanya seorang anak sipuwue, namun karena memiliki ilmu kesaktian yang tinggi, ia sering diajak mendampingi ayahandanya berperang untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan lain. Pada tahun 1511 Pangeran Natas Angin berjasa dalam menaklukkan negeri Garassi, yaitu dengan cara menghempaskan panglima perang kerajaan Garassi dengan pukulan tenaga dalam. Akibat pukulan itu, bagian belakang kepala panglima perang Garassi membentur batu dan akhirnya tewas.
Pada suatu hari dalam tahun 1512, Pangeran Natas Angin diajak ayahandanya untuk mendampingi baginda memerangi orang-orang Islam dari Jawa yang tinggal di Kampung Pammolingkang, daerah sekitar Gowa. Komunitas Islam dari Jawa yang tinggal di daerah sekitar Gowa ini berjumlah sekitar 100 orang, dan dipimpin oleh Kyai Sulasi, orang Gowa menyebutnya I Galasi.
Raja Gowa ke-9 memerangi orang-orang dari Jawa karena termakan hasutan sahabat barunya, yaitu orang-orang Portugis yang telah berhasil menguasai Malaka sejak tahun 1511. Portugis mengatakan kepada baginda, bahwa orang-orang Islam dari Jawa yang tinggal di sekitar Gowa itu harus diperangi karena mereka adalah sekutu Katir, yaitu seorang pemuda dari Jawa (Jepara) yang sering mengadakan perlawanan terhadap orang-orang Portugis di perairan Selat Malaka.
Pemuda Katir ini di mata orang-orang Portugis di-cap sebagai seorang bajak laut di perairan Selat Malaka yang paling ditakuti. la sering memblokir dan merompak kapal-kapal dagang pengangkut beras kiriman dari Jawa yang di-impor Portugis untuk memenuhi kebutuhan Malaka. Sehingga orang-orang Portugis mengalami kekurangan makanan. Apabila Katir memiliki cukup bekal bahan makanan, maka perlawanan terhadap Portugis diteruskan. Namun jika Katir kehabisan bekal makanan, maka perang dihentikan dan akan diteruskan lagi setelah memperoleh bekal bahan makanan.
Katir adalah putera salah seorang pembesar Kerajaan Demak, sedangkan Kyai Sulasi adalah putera Syeh Khadlir Mularasa, seorang ulama asli dari Demak.
Namun sebelum perang besar terjadi, untuk menghindari jatuhnya banyak korban dari rakyat kecil yang tidak berdosa, Kyai Sulasi segera membuat siasat cerdik. Ia menantang raja Gowa untuk berduel adu kesaktian.
Karaeng Tumapa'risi Kallona adalah seorang raja kesatria yang gagah berani. Baginda menyambut baik tantangan duel dari Kyai Sulasi. Prajurit masing-masing pihak diperkenankan menonton duel tersebut secara terbuka. Setelah melalui pertarungan yang sengit, akhirnya baginda raja mengakui kesaktian Kyai Sulasi.
Pada pertarungan tersebut, Pangeran Natas Angin tidak mau membantu ayahandanya karena mengetahui bahwa ayahandanya berada di pihak yang keliru. Ia hanya menonton saja ketika leher ayahandanya mengalami cidera terkena jurus pukulan jarak jauh yang dikirimkan oleh Kyai Sulasi.
Melihat kenyataan tersebut, baginda raja tidak marah kepada puteranya yang tidak mau membantunya. Rupanya baginda menyadari kekeliruan sikapnya karena telah menuruti kemauan Portugis memerangi orang-orang Islam dari Jawa, yang sebenarnya tidak memiliki kesalahan terhadap raja. Bahkan akhirnya, baginda justeru mengabulkan niat putranya yang ingin ikut membantu perjuangan "Laskar Pati Unus" untuk menggempur Portugis di Selat Malaka, yang direncanakan akan dilancarkan pada tanggal 1 Januari 1513. HUSNU MUFID

Read more...

Sunan Panggung 1


Kisah Sunan Panggung (1)
Menyebarkan Ajaran Syekh Siti Jenar
Sunan Panggung atau Syekh Malang Sumirang, yang memiliki nama asli Raden Watiswara, diperkirakan hidup antara tahun 1483-1573 m. Beliau putra dari Sunan Kalijaga hasil perkawinan dari Siti Zaenab Saudara Sunan Gunungjati. Berikut ini kisahnya.

Kepribadian Sunan Panggung sangatlah unik. Beliau memiliki lelewa (tingkah laku) mirip ayahnya yang menjadi wali nyentrik Sunan Kalijaga. Beliau sangat menghormati ayahanda dan gurunya yang terkenal wali nyentrik di tanah Jawa. Semula beliau dikirim Raden Patah ke Pengging untuk menjadi mata-mata. Namun beliau justru tertarik dengan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar dan menjadi pengikut setianya. Karena sikapnya itu ia mendapatkan peringatan keras dari dewan Wali Songo, kecuali ayahnya sendiri Sunan Kalijaga, yang tetap membiarkan anaknya mengikuti Syekh Siti Jenar (hal ini bisa dimaklumi karena paham teologi-sufi Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar sama. Hanya penyampaiannya saja yang berbeda).
Peringatan keras dari pihak Demak dan Dewan Wali tidak digubris oleh Sunan Panggung. Karena dalam hal ini beliau sudah membuktikan sendiri melalui laku dan perjalanan spiritualnya, tentang ajaran Syekh Siti Jenar dan bisa membedakan dengan ajaran syariah pada waktu itu.
Yang hanya menuntut diberlakukan syar'i dan maknanya. Maka akidah yang beliau ikuti adalah penyatuan dengan Tuhan/ilmu makrifat yang sesuai dengan ajaran Syekh Siti Jenar. Syariat yang beliau jalankan adalah salat daim, dan cara penyebaran ajarannya adalah secara terbuka, untuk umum, tidak ada yang dirahasiakan. Dan tidak menganggap orang lain lebih bodoh darinya sehingga setiap orang selalu bebas untuk memperoleh kesempatan mendapat ilmu agama jenis apa pun.
Sampailah suatu saat, terjadinya tragedi dihukumnya guru agungnya, Syeikh Siti Jenar. Sunan Panggung marah besar. Sebab para wali menjatuhkan hukuman kepada orang yang tidak berdosa. Untuk itu ia mengatur strategi dan siasat, setelah belajar dari dua kasus pendahulunya yang dihukum mati yaitu Ki Ageng Pengging dan gurunya Syekh Siti Jenar.
Sunan Panggung mendirikan Paguron Lemah Abang di Pengging. Dan beliau berhasil merekrut siswa yang sangat banyak. Bahkan kiai yang semula dikader oleh Dewan Wali Songo yang didoktrin untuk menyingkirkan ajaran Syekh Siti Jenar, justru menjadi murid setia Sunan Panggung.
Selain itu, Sunan Panggung berperilaku aneh cara memperingatkan Dewan Wali Songo. Sebagai balasan atas Dewan Wali Songo.
Sunan Panggung kemudian melakukan tindakan balasan terhadap Dewan Wali Songo. Dengan cara memelihara dua ekor anjing yang dipeliharanya sejak kecil, yang diberi nama ki tokid (tauhid) dan ki iman. Kemudian anjing itu diajak berlari-lari mengelilingi Masjid Jami', sambil bergurau.
Tindakan ini di samping menggambarkan pendapat al Hallaj. Agar nafsu hewan dibuang ke luar dari jiwa manusia. Juga sekaligus menunjukkan kepada Dewan Wali Songo dan penguasa Demak bahwa anjing tersebut juga beriman dan bertauhid kepada Allah. Dan anjing tidak menjalani kehidupan kehendaknya sendiri seperti kebanyakan manusia yang dibalut dengan alasan keagamaan. Padahal agama itu hanya berdasarkan tafsir nalar dan dasar hukum syara' yang zahir.

Memancarkan Cahaya
Perguruan Sunan Panggung dianggap membahayakan oleh Dewan Wali dan Demak khususnya karena ajaran yang dulu pernah dilarang kini malah dihidupkan kembali. Untuk itu penguasa dan Dewan Wali mengadakan sidang untuk mengambil tindakan untuk Sunan Panggung.
Dari hasil sidang disepakati bahwa pemanggilan kepada Sunan Panggung harus dengan cara halus dan diundang untuk memecahkan masalah pemerintahan. Jika sudah hadir, Dewan Wali membujuk untuk menutup perguruannya dan bergabung dengan Dewan Wali. Termasuk mematuhi konsep keagamaan yang sudah digariskan kerajaan Demak.
Selain itu juga disepakati agar penghukuman terhadap Sunan Panggung jangan sampai memunculkan kehebohan sebagaimana pendahulunya. Yakni agar Sunan Panggung dibakar hidup-hidup, dan tempatnya langsung disediakan di alun-alun sebelum Sunan Panggung datang.
Sunan Panggung diundang oleh pihak kerajaan. Sunan Panggung menyanggupi undangan tersebut bersama utusan dari pihak Demak. Sunan Panggung berargumentasi bahwa inilah saat yang tepat untuk mengkritik model dan materi dakwah, serta arogansi agama syar'i yang dijalankan pihak Demak.
Sunan Panggung datang ke Demak disertai dua anjingnya. Sesampai di alun-alun, ia melihat tumpukan kayu yang disiram minyak. Sunan Panggung sudah menduga siasat penguasa Demak yang akan dilakukan padanya. Namun Sunan Panggung sudah berketatapan hati untuk menghadapi apa pun yang terjadi.
Setelah matahari sebesar kemiri condong ke barat, Gunung Muria merendah, Alun-alun Demak menjulang, orang-orang masih berdesakan. Mereka tak percaya sesuatu yang terlihat oleh mata, Sunan Panggung raganya tidak tersentuh oleh amukan api. Sang tanur menjadi mahligai elok berhias permai dikelilingi pertamanan.
Bertabur kembang lengkap dengan hamparan mutiara. Busana dari surga yang teramat wangi harum semerbak laksana busana Nabi Ibrahim yang diturunkan dari surga. "Lihat! Sunan tidak terbakar. Bisa mati di dalam hidup, dan hidup dalam mati." "Memancar cahaya kemilau dan bau harum semerbak." Orang-orang berguman dalam hati, Sunan Panggung diuji dengan dibakar hidup-hidup, tetapi terus hidup.
Dalam semarak amukan api, Sunan Panggung menulis suluk dengan pembuka Dhandhanggula. Sunan Panggung telah menaiki burung Sadrah karena begitu mendalamnya rindu dalam pencarian ilmu kesejatian hidup yang sempurna. Sunan Panggung nyata lahir batinnya keliputan sanyata wali, mulia pikirannya tiada batas jadi barang yang diinginkannya sempurna sampai hakikat rasa puncaknya ilmu.
Ilmu sejati rasa yang meliputi rasa. Rasa yang sejati. Sejatinya rasa. Bukan rerasan yang diucapkan, bukan rasa yang keenam, bukan pula rasa yang tercecap di lidah. Bukan rasa yang tebersit di hati, bukan rasa yang ciptakan, bukan pula rasa yang dirasakan tubuh. Bukan rasa yang dirasakan suara dan bukan pula rasa kenikmatan dan derita sakit. Sejatinya rasa yang meliputi rasa, rasa pusarnya rasa. Para wali yang telah menjatuhkan hukuman mati dengan dibakar hidup-hidup, hanya terbengong.
Sunan Kudus, kemenakannya, menjadi limbung. Bingung melihat kenyataan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Para wali terlanjur menghukum Sunan Panggung karena dituduh telah menyebarkan ilmu sesat. Gemar memelihara anjing dan dilatih untuk menurut sampai mengerti bahasa manusia. HUSNU MUFID

Read more...

Ibnu taymiyah Meninggal di Penjara 2


Ibnu Taimiyah (2 habis)

Fatwanya Menggemparkan Penguasa Kerajaan

Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama yang memiliki keyakinan yang cukup tinggi dibidang agama Islam. Akibat mempertahankan fatwanya itu ditahan penguasa kerajaann hingga meninggal di penjara. Berikut ini kisahnya.

Dalam tahun 1313 beliau diminta untuk memimpin peperangan lagi ke Syiria. Beliau diangkat menjadi professor lagi dalam sebuah Sekolah Tinggi, tetapi pada bulan Agustus1318 beliau dilarang mengeluarkan fatwa oleh Penguasa, padahal fatwa-fatwa beliau itu diperlukan umat saat itu.
Dengan diam-diam para murid beliau mengumpulkan fatwa-fatwa beliau yang cemerlang itu dan berhasil dibukukan, kemudian dicetak, yang bernama “Fatwa Ibnu Taimiyah” Alangkah sedih hati rakyat yang ternyata masih banyak yang mencintai beliau.
Mereka tetap mendatangi beliau minta fatwa-fatwa, terlebih lagi rakyat baru lepas rindunya terhadap beliau yang baru pulang ke Kota Damsyik yang beliau tinggalkan selama lebih dari tujuh tahun. Waktu itu beliau hidup dari penjara ke penjara.
Beberapa waktu kemudian beliau ditangkap lagi dan dipenjarakan yang keempat kalinya selama lima bulan delapan hari.
Demikianlah hidup beliau, dari penjara ke penjara. Semua perkara yang dijadikan masalah telah beliau keluarkan fatwanya. Soal talak tiga di dalam satu majlis hanya satu yang jatuh, tentang beliau melarang berziarah ke Masjid atas kubur keramat kecuali Masjid Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah dan Baitul Muqaddis di Jerusalem.
Juga sekitar masalah keTuhanan dan memurnikan ajaran Islam, mengamalkan ibadah yang murni menurut faham yang terdahulu, yaitu faham salaf. Juga masalah syirik dan bid’ah yang membahayakan akidah Islam beliau tentang, agar Islam kembali kepada kemurniannya seperti zaman salaf.
Yang terakhir beliau ditangkap lagi atas perintah Sultan dalam bulan Sya’ban 726 H. (Julai 1326 M) dan kemudian dipenjarakan yang kelima kalinya selama 20 bulan. Kali ini kamar tahanannya amat sempit dan bertembok tebal. Dalam kamar tahanannya itu beliau tetap menulis. Karena menulis itu yang membawa kebahagiaan bagi beliau.
Beliau dilarang berfatwa kemudian menulis, bahkan isi tulisannya sangat bagus.
Maka walaupun beliau hidup dalam lingkungan tembok penjara yang tebal, tetapi hati beliau tidak sedih dan tidak pula gundah. Dalam penjara inilah beliau berkata yang kemudian terkenal sampai sekarang, yaitu: “Orang yang terpenjara ialah yang dipenjara syaitan, orang yang terkurung ialah orang yang dikurung syaitan.
Dan dipenjara yang sebenarnya ialah yang dipenjarakan hawa nafsunya. Bila orang-orang yang memenjarakan saya ini tahu bahwa saya dalam penjara ini merasa bahagia dan merasa merdeka, maka merekapun akan dengki atas kemerdekaan saya ini, dan akhirnya mereka tentulah mengeluarkan saya dari penjara ini.”
Setelah petugas tahu bahwa beliau dalam penjara terus menulis, maka semua kitab dan alat-alat tulis beliau dirampas dan dikeluarkan dari kamar penjara. Itulah hukuman yang paling kejam bagi beliau. Keadaan ini beliau terima dengan hati sedih dan bercucuran air mata.

Bersama Muridnya

Dalam penjara terakhir ini beliau bersama dengan para murid yang juga dimasukkan dalam tahanan. Namun semua pengikut beliau yang ditahan itu telah dibebaskan, kecuali seorang murid beliau yang paling setia yang masih menyertai beliau dalam penjara, iaitu Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (691-751H).
Setelah tidak boleh menulis lagi, beliau pun mengambil kitab suci Al-Quran yang tidak ikut dirampas. Beliau baca Al-Quran itu sampai penat, kemudian berzikir dan shalat, membaca Al-Quran lagi bertilawat. Kemudian shalat dan berzikir. Demikianlah yang beliau kerjakan, sehingga sejak beliau tidak boleh menulis telah menamatkan (mengkhatamkan) membaca Al-Quran 80 (delapan puluh kali).
Dan ketika beliau membaca akan masuk ke 81 kalinya, tetapi ketika sampai kepada ayat yang artinya,” … Sesungguhnya orang yang muttaqin itu akan duduk di dalam syurga dan sungai-sungai yang mengalir di bawahnya, di dalam kedudukan yang benar, pada sisi Tuhan Allah Yang Maha Kuasa.” Beliau pun tidak dapat meneruskan bacaannya lagi, karena jatuh sakit selama 20 hari.
Saat itu beliau telah berusia 67 tahun, dan telah merengkuk dalam penjara yang terakhir itu selama lebih dari 20 bulan lamanya, dan ketika itu sakit beliau semakin bertambah. Orang banyak yang  tidak mengetahui bahwa beliau dalam keadaan sakit. Karena yang mengurus diri beliau hanyalah Ibnul Qayyim Al-Jauziyah muridnya yang setia. Baru setelah muadzin berseru dari atas menara bahwa beliau telah pulang ke rahmatullah, berduyun-duyun orang mengerumuni gerbang penjara.
Banyak orang yang terisak menangis dan meratapi kematian beliau. Juga banyak orang yang ingin mengambil berkah dari hanya melihat wajah beliau, memegang jenazah beliau dan bahkan ada yang mencium beliau.
Beliau meninggal dunia hari Isnin, 20 Zul Kaedah 728 H. (26-28 September 1328 M), dalam usia 67 tahun, setelah sakit dalam penjara lebih dari 20 hari. Beliau menghembuskan nafas yang terakhir di atas tikar shalatnya, sedang dalam keadaan membaca Al-Quran.
Walaupun begitu beliau seorang yang banyak dibenci terutama oleh mereka yang bermazhab Syafi’i, tetapi jenazah beliau diiringkan ke pusara oleh 200,000 orang lelaki dan 15,000 orang wanita. Demikianlah akibat yang dialami oleh beliau dalam memperjuangkan kebenaran, demi tegaknya agama Islam di atas dunia. HUSNU MUFID


Read more...

Ibnu Taimiyah Meninggal di Penjara 1


Ibnu Taimiyah (1)

Menentang Ajaran Tasawwuf Ittihadiyah

Nama lengkap beliau adalah Taqiyuddin Abdul Abbas Ahmad bin Abdul Salam bin Abdullah bin Muhammad bin Taimiyah Al-Harrani Al-Hambali, yang lahir pada hari Isnin, 10 Rabiul Awwal 66l H. (22 Januari 1263 M) di Harran. Berikut ini kisah hidupnya.

Ayah beliau adalah seorang alim ahli agama, seorang besar dalam bidang agama Islam, yaitu Syihabuddin  Abu Ahmad Halim Ibnu Taimiyah. Ayah beliau ini adalah seorang Imam Muhaqqiq yang banyak ilmunya, meninggal tahun 681H Neneknya adalah Syeikhul Islam, Majduddin Abul Barakat Abbas Salam Ibnu Taimiyah, seorang Hafiz Hadith yang ternama.
Karena diburu oleh bangsa Monggol, maka ayah beliau pindah ke Damaskus dengan seluruh keluarganya. Di Damaskus itulah beliau mempelajari agama Islam, yang ternyata sebagai anak yang cerdas. Guru beliau antara lain adalah ulama besar yang bernama Zainuddin Abdul Daim Al-Mukaddasi, Najmuddin Ibnu Asakir, dan seorang ulama perempuan terkenal, Zainab binti Makki, dan sebagainya yang lebih dari seratus guru lagi banyaknya.Beliau kuat ingatan, cepat hafal, lekas faham, dan tidak bosan membaca serta tidak pernah beristirahat di dalam menambah ilmu, juga dalam perjuangannya.
Setelah ayah beliau meninggal dunia, beliau menggantikan ayah beliau mengajarkan ilmu fiqh dalam mazhab Hambali dan dalam ilmu tafsir. Pada tahun 691H. (1292 M) beliau pergi haji, dan di Kota Makkah beliau bertemu dengan banyak ulama besar. Cukup banyak ulama yang beliau tinggalkan namanya karena salah dalam sesuatu debat dan pendapat di dalam masalah hukum.
Itulah Ibnu Taimiyah, ulama besar yang merengkuk dalam penjara Mesir. Baru saja beliau bebas dari penjara, kemudian ditangkap lagi dan dipenjarakan yang kedua kalinya selama setengah tahun lagi. Sebabnya karena beliau menulis sebuah kitab yang isinya tentang masalah ketuhanan yang tidak disetujui oleh para ulama.
Di dalam, penjara yang hanya setengah tahun itu beliau berhasil menginsafkan banduan yang meringkok bersama beliau. Sehingga semua yang insaf itu menjadi pendukung beliau dan menjadi pengikut yang setia.
Adapun isi kitab yang menyebabkan beliau di penjara yang kedua itu adalah beliau menentang ajaran Tasawwuf Ittihadiyah yang menyatakan bahwa Allah boleh hulul (bertempat) dalam tubuh makhluk. Jelasnya kepercayaan hulul ialah kepercayaan bahwa Allah bersemayam dalam tubuh salah seorang yang memungkinkan untuk itu, karena kemurnian jiwanya atau kesucian rohnya. Adapun kepercayaan ittihad (Al-lttihad) ialah kepercayaan tentang Allah yang dapat bersatu dengan manusia. Apabila telah terjadi ittihad, maka orang yang bersangkutan tak sedar diri.
Hal ini mereka namakan makwu, atau sampai kepada tingkat lenyapnya zat yang fana dengan Zat Allah yang baqa. Kalau sudah sampai tingkat yang begini, maka segala yang diucapkan tidak terkena hukum syirik walaupun pada zahirnya syirik, karena orang yang mengucapkan itu sedang dalam keadaan sukar atau mabuk kepayang. Di antara kaum sufi dan Guru Thariqat mempercayai melancarkan faham ini adalah Umar Ibnul Faridh dan Ibnu ‘Ath’allal.
Itulah faham sesat yang beliau tentang, tetapi beliau bahkan di penjara selama satu setengah tahun di Syam. Baru beberapa hari keluar dari penjara yang kedua, ia ditangkap lagi dan dipenjarakan selama delapan bulan lamanya di Aleksandria, karena fatwa beliau pula yang tidak sesuai dengan faham para ulama.
Keluar dari penjara Aleksandria, beliau dipanggil oleh Sultan Nashir Qalaun untuk memberikan fatwa di muka umum. Sebabnya sampai sikap sultan demikian ialah karena sultan senang terhadap sifat terus-terang beliau. Beliau bersedia memberikan fatwa atau ceramah di muka umum, dan ternyata fatwa beliau itu menggemparkan para ulama yang bermazhab Syafi’e. Namun beliau tetap dikasihi oleh Sultan. Bahkan beliau mendapat tawaran menjadi professor pada sebuah Sekolah Tinggi yang didirikan oleh Putera Mahkota.HUSNU MUFID



Read more...

  © Blogger template On The Road by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP