Sunan Panggung 1

Kamis, 15 Agustus 2013


Kisah Sunan Panggung (1)
Menyebarkan Ajaran Syekh Siti Jenar
Sunan Panggung atau Syekh Malang Sumirang, yang memiliki nama asli Raden Watiswara, diperkirakan hidup antara tahun 1483-1573 m. Beliau putra dari Sunan Kalijaga hasil perkawinan dari Siti Zaenab Saudara Sunan Gunungjati. Berikut ini kisahnya.

Kepribadian Sunan Panggung sangatlah unik. Beliau memiliki lelewa (tingkah laku) mirip ayahnya yang menjadi wali nyentrik Sunan Kalijaga. Beliau sangat menghormati ayahanda dan gurunya yang terkenal wali nyentrik di tanah Jawa. Semula beliau dikirim Raden Patah ke Pengging untuk menjadi mata-mata. Namun beliau justru tertarik dengan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar dan menjadi pengikut setianya. Karena sikapnya itu ia mendapatkan peringatan keras dari dewan Wali Songo, kecuali ayahnya sendiri Sunan Kalijaga, yang tetap membiarkan anaknya mengikuti Syekh Siti Jenar (hal ini bisa dimaklumi karena paham teologi-sufi Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar sama. Hanya penyampaiannya saja yang berbeda).
Peringatan keras dari pihak Demak dan Dewan Wali tidak digubris oleh Sunan Panggung. Karena dalam hal ini beliau sudah membuktikan sendiri melalui laku dan perjalanan spiritualnya, tentang ajaran Syekh Siti Jenar dan bisa membedakan dengan ajaran syariah pada waktu itu.
Yang hanya menuntut diberlakukan syar'i dan maknanya. Maka akidah yang beliau ikuti adalah penyatuan dengan Tuhan/ilmu makrifat yang sesuai dengan ajaran Syekh Siti Jenar. Syariat yang beliau jalankan adalah salat daim, dan cara penyebaran ajarannya adalah secara terbuka, untuk umum, tidak ada yang dirahasiakan. Dan tidak menganggap orang lain lebih bodoh darinya sehingga setiap orang selalu bebas untuk memperoleh kesempatan mendapat ilmu agama jenis apa pun.
Sampailah suatu saat, terjadinya tragedi dihukumnya guru agungnya, Syeikh Siti Jenar. Sunan Panggung marah besar. Sebab para wali menjatuhkan hukuman kepada orang yang tidak berdosa. Untuk itu ia mengatur strategi dan siasat, setelah belajar dari dua kasus pendahulunya yang dihukum mati yaitu Ki Ageng Pengging dan gurunya Syekh Siti Jenar.
Sunan Panggung mendirikan Paguron Lemah Abang di Pengging. Dan beliau berhasil merekrut siswa yang sangat banyak. Bahkan kiai yang semula dikader oleh Dewan Wali Songo yang didoktrin untuk menyingkirkan ajaran Syekh Siti Jenar, justru menjadi murid setia Sunan Panggung.
Selain itu, Sunan Panggung berperilaku aneh cara memperingatkan Dewan Wali Songo. Sebagai balasan atas Dewan Wali Songo.
Sunan Panggung kemudian melakukan tindakan balasan terhadap Dewan Wali Songo. Dengan cara memelihara dua ekor anjing yang dipeliharanya sejak kecil, yang diberi nama ki tokid (tauhid) dan ki iman. Kemudian anjing itu diajak berlari-lari mengelilingi Masjid Jami', sambil bergurau.
Tindakan ini di samping menggambarkan pendapat al Hallaj. Agar nafsu hewan dibuang ke luar dari jiwa manusia. Juga sekaligus menunjukkan kepada Dewan Wali Songo dan penguasa Demak bahwa anjing tersebut juga beriman dan bertauhid kepada Allah. Dan anjing tidak menjalani kehidupan kehendaknya sendiri seperti kebanyakan manusia yang dibalut dengan alasan keagamaan. Padahal agama itu hanya berdasarkan tafsir nalar dan dasar hukum syara' yang zahir.

Memancarkan Cahaya
Perguruan Sunan Panggung dianggap membahayakan oleh Dewan Wali dan Demak khususnya karena ajaran yang dulu pernah dilarang kini malah dihidupkan kembali. Untuk itu penguasa dan Dewan Wali mengadakan sidang untuk mengambil tindakan untuk Sunan Panggung.
Dari hasil sidang disepakati bahwa pemanggilan kepada Sunan Panggung harus dengan cara halus dan diundang untuk memecahkan masalah pemerintahan. Jika sudah hadir, Dewan Wali membujuk untuk menutup perguruannya dan bergabung dengan Dewan Wali. Termasuk mematuhi konsep keagamaan yang sudah digariskan kerajaan Demak.
Selain itu juga disepakati agar penghukuman terhadap Sunan Panggung jangan sampai memunculkan kehebohan sebagaimana pendahulunya. Yakni agar Sunan Panggung dibakar hidup-hidup, dan tempatnya langsung disediakan di alun-alun sebelum Sunan Panggung datang.
Sunan Panggung diundang oleh pihak kerajaan. Sunan Panggung menyanggupi undangan tersebut bersama utusan dari pihak Demak. Sunan Panggung berargumentasi bahwa inilah saat yang tepat untuk mengkritik model dan materi dakwah, serta arogansi agama syar'i yang dijalankan pihak Demak.
Sunan Panggung datang ke Demak disertai dua anjingnya. Sesampai di alun-alun, ia melihat tumpukan kayu yang disiram minyak. Sunan Panggung sudah menduga siasat penguasa Demak yang akan dilakukan padanya. Namun Sunan Panggung sudah berketatapan hati untuk menghadapi apa pun yang terjadi.
Setelah matahari sebesar kemiri condong ke barat, Gunung Muria merendah, Alun-alun Demak menjulang, orang-orang masih berdesakan. Mereka tak percaya sesuatu yang terlihat oleh mata, Sunan Panggung raganya tidak tersentuh oleh amukan api. Sang tanur menjadi mahligai elok berhias permai dikelilingi pertamanan.
Bertabur kembang lengkap dengan hamparan mutiara. Busana dari surga yang teramat wangi harum semerbak laksana busana Nabi Ibrahim yang diturunkan dari surga. "Lihat! Sunan tidak terbakar. Bisa mati di dalam hidup, dan hidup dalam mati." "Memancar cahaya kemilau dan bau harum semerbak." Orang-orang berguman dalam hati, Sunan Panggung diuji dengan dibakar hidup-hidup, tetapi terus hidup.
Dalam semarak amukan api, Sunan Panggung menulis suluk dengan pembuka Dhandhanggula. Sunan Panggung telah menaiki burung Sadrah karena begitu mendalamnya rindu dalam pencarian ilmu kesejatian hidup yang sempurna. Sunan Panggung nyata lahir batinnya keliputan sanyata wali, mulia pikirannya tiada batas jadi barang yang diinginkannya sempurna sampai hakikat rasa puncaknya ilmu.
Ilmu sejati rasa yang meliputi rasa. Rasa yang sejati. Sejatinya rasa. Bukan rerasan yang diucapkan, bukan rasa yang keenam, bukan pula rasa yang tercecap di lidah. Bukan rasa yang tebersit di hati, bukan rasa yang ciptakan, bukan pula rasa yang dirasakan tubuh. Bukan rasa yang dirasakan suara dan bukan pula rasa kenikmatan dan derita sakit. Sejatinya rasa yang meliputi rasa, rasa pusarnya rasa. Para wali yang telah menjatuhkan hukuman mati dengan dibakar hidup-hidup, hanya terbengong.
Sunan Kudus, kemenakannya, menjadi limbung. Bingung melihat kenyataan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Para wali terlanjur menghukum Sunan Panggung karena dituduh telah menyebarkan ilmu sesat. Gemar memelihara anjing dan dilatih untuk menurut sampai mengerti bahasa manusia. HUSNU MUFID

0 komentar:

Posting Komentar

  © Blogger template On The Road by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP