Sunan Panggung 2

Kamis, 15 Agustus 2013


Kisah Sunan Panggung (2)

Menempuh Jalan Kegilaan kepada Allah


Sunan Panggung memiliki kegiatan ibadah yang cukup berbeda dengan para wali. Oleh karena itu dianggap sesat secara syariat. Namun dia sendiri meyakini tidak sesat dan benar adanya dalam menjalankan ibadah. Berikut ini kisah hidupnya.

Tidak saja menghindari salat di masjid, malah sering mencemari masjid membawa anjing piaraan, binatang yang sangat jorok, liurnya najis. Jalan yang ditempuh Sunan Panggung "jalan kegilaan", Tariq Majnun Rabbani. Gila karena tergila-gila kepada Tuhan.
Linglang-linglung lupa daratan, terbenam senang dalam nikmat dahsyat. Kegilaannya itu pada mulanya ditujukan oleh ketidakaktifannya sendiri, sikap acuh tak acuh pada hukum. Para wali menuduh Sunan Panggung telah menyingkir dari ajaran agama, tata syariat dilalaikan.
Para santrinya malah menyebutnya, Sunan Panggung. Sunan yang hidup di tengah hutan dengan pohon-pohon berbatang besar, pang-gung atau cabang besar. Sunan, Susuhunan, Susunan, atau Sinuhun, "Dia yang Dijunjung". Gelar ini sesungguhnya khusus untuk hierarki wali Islam yang memiliki wilayah perdikan dan sebutan bagi penguasa tertinggi Mataram.
Para santrinya sangat menghormati, tunduk dengan segala perintah dan mengikuti semua ajarannya. Para santri diajari mencari kehidupan yang sempurna, kesempurnaan yang benar-benar sempurna. "Manusia tidak lain hanyalah jasad-jasad mati yang dipenuhi oleh nafsu lauwamah, amarah, sufiah, dan mutmainah.
Kita lepaskan nafsu-nafsu itu karena di tengah-tengah nafsumu bertahta sirr atau rahasia yang tersembunyi, roh dalam jiwa, kesempurnaan yang benar-benar sempurna." "Inggih, Sunan." "Wayang dan bayangan harus menyatu dalam satu jiwa. Roh dalam jiwa memainkan mahkluk-makhluk atas kehendak-Nya." "Inggih, Sunan."
"Sejatinya yang memerintah kita bukanlah tubuh kita, tetapi roh dalam jiwa." "Inggih, Sunan." "Seperti Kresna yang memerintah kerajaan, hakikatnya bukan Kresna. Tetapi Kresna Dwarawati. Kresna yang di dalamnya bertahta roh Wisnu. Kresna titisan Wisnu." "Inggih, Sunan." "Bebaskan roh kalian dari ikatan hukum-hukum yang menghalangi kebebasan roh yang menuju dan menyatu dengan Tuhan." "Inggih, Sunan." "Hakikat hidup abadi baru dimulai sesudah mati."
Mendengar kalimat terakhir, para santri secara serentak tiba-tiba memukuli dirinya sendiri. Menyiksa dirinya sendiri, membentur-benturkan kepalanya di sembarang tempat sambil berteriak, "Aku ingin mati.... aku ingin mati!" "Aku ingin bunuh diri!" Desa Ngundung, daerah tempat tinggal Sudan Panggung menjadi gempar.
Para santri Sunan Panggung mencari mati. Mencari orang yang mau menolong untuk membunuhnya. Semua orang diteror agar penduduk menjadi marah, ini suatu jalan untuk mencari kematian. Melihat tingkah santri-santrinya, Sunan Panggung menjadi bingung, dia berlarian mengejar dan memanggil para santri, sambil berteriak, "Bunuh diri dosa besar!"
Teriakan Sunan Panggung menghentikan polah dan perilaku para santri. Secara serentak para santri menghambur mendekati Sunan Panggung dan berlutut mengelilingi. Para santri merunduk dan terdiam, suasana menjadi hening. Beberapa saat setelah larut dalam diam, Sunan Panggung mengajak santri-santri melepaskan roh dari badannya. Kesengsaraan dunia ini tidak lain suatu kegilaan, orang-orang mencari kebutuhan badaniah tanpa memperhatikan kebutuhan rohani.

Mendapat Hukuman

Orang-orang mencari kenikmatan, namun hanya penderitaan yang dijumpai. Manusia bingung karena tidak mengenal dirinya sendiri karena dijadikan buta oleh hawa nafsu. Mencari ilmu suci tidak mungkin diperoleh dengan alat pancaindra, karena sifatnya yang kotor, najis, dan palsu.
Kebaruan adalah kepalsuan, kekotoran, dan kenajisan, yang segera hancur bersama-sama tibanya ajal. Hidup sesudah lahir adalah kebaruan, maka itu palsu, najis, dan kotor. Hidup sesudah kelahiran adalah kematian yang sesungguhnya. Kedaaan kematian itulah yang membuat manusia tidak bisa bebas dari nafsu, kebohongan, kebutuhan kekuasaan, makan, minum, bahkan salat, puasa, zakat, haji.
Kembalinya manusia ke asal dari mana ia lahir, sesudah ajal tiba nantilah hidup yang sesungguhnya, ketika manusia tidak lagi membutuhkan apa pun, termasuk keinginan, karena keinginan adalah awal dari kesengsaraan. Di mata Sunan Panggung para wali telah keliru memanjakan pemerintahan yang tidak adil, menindas, dan korup.
Makna tidak memiliki kekayaan apa-apa dalam bahasan dan perenungan tanpa adanya pemikiran. Syekh Siti Jenar, sebuah perlawanan terhadap para wali yang mendukung Demak. Maka oleh penguasa ajaran Syekh Siti Jenar dianggap bukan hanya sesat, tetapi juga mengganggu ketenteraman masyarakat dan mengancam stabilitas kerajaan Raden Patah.
Karena gagal membujuk, atas nama Raja Demak, Dewan Agama menetapkan hukuman mati bagi Siti Jenar. "Berbadan roh". Sunan Panggung berguman seperti mendengung. Para santri menirukan apa yang diucapkan Sunan Panggung secara bersama dan berulang seperti berzikir. "Berbadan roh" "Aku bukan Siti Jenar, aku Sunan Panggung, kesempurnaan yang benar-benar sempurna.”
Para wali mengajarkan hukum syar'i, tetapi tidak memahami lambang-lambang. "Para santri tenggelam dalam ekstase kegilaan, jagad suwung, angin seperti berhenti berembus lari ke awang-awang dan uwung-uwung. Jagad menjadi pertapaan sunyata, bumi resah! Sunan Panggung mencari ilmu kesejatian.
Berguru pada Sunan Giri Prampen, tatkala diajari ilmu sejati, usianya baru tujuh belas tahun. Sejak saat itu sering menyiksa raga, bertapa. Sunan Panggung mengaku berbadan rohani. Para wali menyebut Sunan Panggung sebagai orang yang tidak senonoh, tak pantas, dan anarkis, bahkan teroris, menjadi simbol antitatanan.
Pengakuan Sunan Panggung dan perilaku santri-santrinya membuat para wali geram. Para wali menuduh Sunan Panggung mewariskan suluk liar mengingkari semua tatanan atas nama anarki jalan kegilaan. Menyingkap tabir rahasia, menyurat yang tersembunyi. Setelah mempertimbangkan pendapat para wali, Sultan Demak memutuskan Sunan Panggung dihukum dengan dibakar, pati obong, di Alun-alun Demak.
Mendengar keputusan majelis para wali Sunan Panggung tidak menampakkan ketakutan, bahkan menantang keponanakannya, Sunan Kudus, untuk segera menyalakan unggun. Sebelum berjalan menuju api pembakaran, Sunan Panggung minta disediakan tinta dan kertas dua bendel.
Sultan Demak dan para wali semakin bingung, permintaan Sunan Panggung sangat aneh. Sunan Panggung berjalan menuju api pembakaran, tidak ada kata lain yang terucap dari mulutnya selain kata, kebenaran. Api membumbung ke angkasa, Sunan Panggung bergegas naik ke atas unggun dan dua anjingnya yang setia mengikuti, terjun ke dalam api. Matahari semakin mengecil, Gunung Muria kembali menyembul, angin bergegas dari awang-awung dan uwung-uwung melintasi Alun-alun Demak. HUSNU MUFID



0 komentar:

Posting Komentar

  © Blogger template On The Road by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP