Kisah Sunan Panggung (2)
Menempuh
Jalan Kegilaan kepada Allah
Sunan Panggung memiliki kegiatan ibadah yang cukup
berbeda dengan para wali. Oleh karena itu dianggap sesat secara syariat. Namun
dia sendiri meyakini tidak sesat dan benar adanya dalam menjalankan ibadah.
Berikut ini kisah hidupnya.
Tidak saja menghindari salat di masjid, malah sering
mencemari masjid membawa anjing piaraan, binatang yang sangat jorok, liurnya
najis. Jalan yang ditempuh Sunan Panggung "jalan kegilaan", Tariq
Majnun Rabbani. Gila karena tergila-gila kepada Tuhan.
Linglang-linglung lupa daratan, terbenam senang dalam
nikmat dahsyat. Kegilaannya itu pada mulanya ditujukan oleh ketidakaktifannya
sendiri, sikap acuh tak acuh pada hukum. Para wali menuduh Sunan Panggung telah
menyingkir dari ajaran agama, tata syariat dilalaikan.
Para santrinya malah menyebutnya, Sunan Panggung.
Sunan yang hidup di tengah hutan dengan pohon-pohon berbatang besar, pang-gung
atau cabang besar. Sunan, Susuhunan, Susunan, atau Sinuhun, "Dia yang
Dijunjung". Gelar ini sesungguhnya khusus untuk hierarki wali Islam yang
memiliki wilayah perdikan dan sebutan bagi penguasa tertinggi Mataram.
Para santrinya sangat menghormati, tunduk dengan
segala perintah dan mengikuti semua ajarannya. Para santri diajari mencari
kehidupan yang sempurna, kesempurnaan yang benar-benar sempurna. "Manusia
tidak lain hanyalah jasad-jasad mati yang dipenuhi oleh nafsu lauwamah, amarah,
sufiah, dan mutmainah.
Kita lepaskan nafsu-nafsu itu karena di tengah-tengah
nafsumu bertahta sirr atau rahasia yang tersembunyi, roh dalam jiwa,
kesempurnaan yang benar-benar sempurna." "Inggih, Sunan."
"Wayang dan bayangan harus menyatu dalam satu jiwa. Roh dalam jiwa
memainkan mahkluk-makhluk atas kehendak-Nya." "Inggih, Sunan."
"Sejatinya yang memerintah kita bukanlah tubuh
kita, tetapi roh dalam jiwa." "Inggih, Sunan." "Seperti
Kresna yang memerintah kerajaan, hakikatnya bukan Kresna. Tetapi Kresna
Dwarawati. Kresna yang di dalamnya bertahta roh Wisnu. Kresna titisan
Wisnu." "Inggih, Sunan." "Bebaskan roh kalian dari ikatan
hukum-hukum yang menghalangi kebebasan roh yang menuju dan menyatu dengan
Tuhan." "Inggih, Sunan." "Hakikat hidup abadi baru dimulai
sesudah mati."
Mendengar kalimat terakhir, para santri secara
serentak tiba-tiba memukuli dirinya sendiri. Menyiksa dirinya sendiri,
membentur-benturkan kepalanya di sembarang tempat sambil berteriak, "Aku
ingin mati.... aku ingin mati!" "Aku ingin bunuh diri!" Desa
Ngundung, daerah tempat tinggal Sudan Panggung menjadi gempar.
Para santri Sunan Panggung mencari mati. Mencari orang
yang mau menolong untuk membunuhnya. Semua orang diteror agar penduduk menjadi
marah, ini suatu jalan untuk mencari kematian. Melihat tingkah santri-santrinya,
Sunan Panggung menjadi bingung, dia berlarian mengejar dan memanggil para
santri, sambil berteriak, "Bunuh diri dosa besar!"
Teriakan Sunan Panggung menghentikan polah dan
perilaku para santri. Secara serentak para santri menghambur mendekati Sunan
Panggung dan berlutut mengelilingi. Para santri merunduk dan terdiam, suasana
menjadi hening. Beberapa saat setelah larut dalam diam, Sunan Panggung mengajak
santri-santri melepaskan roh dari badannya. Kesengsaraan dunia ini tidak lain
suatu kegilaan, orang-orang mencari kebutuhan badaniah tanpa memperhatikan
kebutuhan rohani.
Mendapat
Hukuman
Orang-orang mencari kenikmatan, namun hanya
penderitaan yang dijumpai. Manusia bingung karena tidak mengenal dirinya
sendiri karena dijadikan buta oleh hawa nafsu. Mencari ilmu suci tidak mungkin
diperoleh dengan alat pancaindra, karena sifatnya yang kotor, najis, dan palsu.
Kebaruan adalah kepalsuan, kekotoran, dan kenajisan,
yang segera hancur bersama-sama tibanya ajal. Hidup sesudah lahir adalah
kebaruan, maka itu palsu, najis, dan kotor. Hidup sesudah kelahiran adalah
kematian yang sesungguhnya. Kedaaan kematian itulah yang membuat manusia tidak
bisa bebas dari nafsu, kebohongan, kebutuhan kekuasaan, makan, minum, bahkan
salat, puasa, zakat, haji.
Kembalinya manusia ke asal dari mana ia lahir, sesudah
ajal tiba nantilah hidup yang sesungguhnya, ketika manusia tidak lagi
membutuhkan apa pun, termasuk keinginan, karena keinginan adalah awal dari
kesengsaraan. Di mata Sunan Panggung para wali telah keliru memanjakan pemerintahan
yang tidak adil, menindas, dan korup.
Makna tidak memiliki kekayaan apa-apa dalam bahasan
dan perenungan tanpa adanya pemikiran. Syekh Siti Jenar, sebuah perlawanan
terhadap para wali yang mendukung Demak. Maka oleh penguasa ajaran Syekh Siti Jenar
dianggap bukan hanya sesat, tetapi juga mengganggu ketenteraman masyarakat dan
mengancam stabilitas kerajaan Raden Patah.
Karena gagal membujuk, atas nama Raja Demak, Dewan
Agama menetapkan hukuman mati bagi Siti Jenar. "Berbadan roh". Sunan
Panggung berguman seperti mendengung. Para santri menirukan apa yang diucapkan
Sunan Panggung secara bersama dan berulang seperti berzikir. "Berbadan
roh" "Aku bukan Siti Jenar, aku Sunan Panggung, kesempurnaan yang
benar-benar sempurna.”
Para wali mengajarkan hukum syar'i, tetapi tidak
memahami lambang-lambang. "Para santri tenggelam dalam ekstase kegilaan,
jagad suwung, angin seperti berhenti berembus lari ke awang-awang dan
uwung-uwung. Jagad menjadi pertapaan sunyata, bumi resah! Sunan Panggung
mencari ilmu kesejatian.
Berguru pada Sunan Giri Prampen, tatkala diajari ilmu
sejati, usianya baru tujuh belas tahun. Sejak saat itu sering menyiksa raga,
bertapa. Sunan Panggung mengaku berbadan rohani. Para wali menyebut Sunan
Panggung sebagai orang yang tidak senonoh, tak pantas, dan anarkis, bahkan
teroris, menjadi simbol antitatanan.
Pengakuan Sunan Panggung dan perilaku santri-santrinya
membuat para wali geram. Para wali menuduh Sunan Panggung mewariskan suluk liar
mengingkari semua tatanan atas nama anarki jalan kegilaan. Menyingkap tabir
rahasia, menyurat yang tersembunyi. Setelah mempertimbangkan pendapat para
wali, Sultan Demak memutuskan Sunan Panggung dihukum dengan dibakar, pati
obong, di Alun-alun Demak.
Mendengar keputusan majelis para wali Sunan Panggung
tidak menampakkan ketakutan, bahkan menantang keponanakannya, Sunan Kudus,
untuk segera menyalakan unggun. Sebelum berjalan menuju api pembakaran, Sunan
Panggung minta disediakan tinta dan kertas dua bendel.
Sultan Demak dan para wali semakin bingung, permintaan
Sunan Panggung sangat aneh. Sunan Panggung berjalan menuju api pembakaran,
tidak ada kata lain yang terucap dari mulutnya selain kata, kebenaran. Api
membumbung ke angkasa, Sunan Panggung bergegas naik ke atas unggun dan dua
anjingnya yang setia mengikuti, terjun ke dalam api. Matahari semakin mengecil,
Gunung Muria kembali menyembul, angin bergegas dari awang-awung dan uwung-uwung
melintasi Alun-alun Demak. HUSNU MUFID
Read more...