Ada Yang Mengatakan Kejawen Itu Feodalisme
Sabtu, 08 Februari 2025
FEODALISME
Ada yang mengatakan bahwa Kejawen itu feodalisme. Saya tidak bisa menyalahkannya, memang betul! Harus dibedakan antara Kejawen dan Kawruh Jawa.
Kejawen adalah mgarab yang berbungkus budaya Jawa yang diterapkan untuk menggiring rakyat takluk dalam pemerintahan Sultani dan para raja-raja kecil yang saling berperang dimasa itu. Oleh karena itu, disinilah letak Kawruh Luhur Nusantara mengalami degradasi. Tapi tentu itulah dampak yang diharapkan sehingga kemudian digiring perlahan-lahan untuk memeluk paham yang lebih "modern" melalui agama-agama impor. Ini adalah bermain dengan kedua belah tangan : tangan kiri memeras, tangan kanan mewadahi.
Salah satu bentuk feodalisme itu adalah sikap "Ngawulo". Apa yang seharusnya menghamba kepada Tuhan dialih geserkan menjadi menghamba kepada petinggi, pejabat, bangsawan,mengabdi bukan pada Tuhan tetapi mengapdi pada pemuka2 agama, Dengan topeng kawruh luhur yg mereka modifikasi, rakyat merasa mendapatkan pamomong. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah sebaliknya. Kejayaan korporasi Belanda mengeruk kekayaan Indonesia tidaklah mungkin terlaksana apabila tidak ada pemberian konsesi-konsesi tanah dari para Sultan itu. Dan lagi pula yang menjadi carik dan mandornya juga adalah kaum kita sendiri yang tanpa kasihan menyunat bayaran upah kerjanya yang sudah kecil itu. Jadi bila pada masa modern ini terjadi penyunatan2 gaji, itu bukanlah hal yang baru. Bila anda protes, maka anda dianggap tidak ngawulo. BIla anda bangun berdiri dan menyuarakan ketidak-adilan maka anda didakwa tidak ngawulo. Sementara tanpa henti mulut mereka terus meneriakkan slogan "keadilan" dengan jari menudingkan pada pihak kompeni Belanda sebagai biang penyebabnya.
Imperalisme itu sudah disusup sisipkan secara tersamar didalam doktrin-doktrin Kejawen. Yang tidak saja selalu menganjurkan untuk bersikap nrimo, pasrah, sumeleh sebagai sebuah kebajikan, sementara satu persatu ladang dan kedaulatan rakyat Jawa dipreteli satu persatu. Kalau anda berteriak saja, maka dianggap bukan orang "Jawa" karena tidak nrimo-pasrah-sumeleh. Ini tentu merupakan akal-akalan yang keji. Sikap dasar orang Jawa yang sejati sebenarnya adalah seperti Werkudoro : tegas, tanpa kompromi, blak-blakan, hitam ya hitam putih ya putih. Tapi semenjak jaman Imperalisme Sultani maka orang Jawa tidak berani bersuara, sehingga lalu muncul gejala "mbendhol mburi"...menggerutu di belakang....atau "injih-injih mboten kepanggih" ..."iya-iya" tapi mendongkel menusuk dari belakang. Sebuah mekanisme pertahanan diri dalam situasi yang ganas menekan secara terselubung : sebuah perang di bawah arus permukaan antara kaum jawa ndheles dan kaum njawan irib-iriban. Tapi disi lain, kaum njawan irib-iriban juga ditandingkan dengan kaum putihan. Makanya semenjak kecil sampai mati tabrakan, kalau minta hadiah dari ayahnya selalu mintanya cuman bola ping pong...haha. Mungkin dengan harapan ayahnya mikir sendiri bahwa selama ini cuman mempingpong hidupnya. Maka tidak penah maju sementara bangsa lain sudah meroket. Penempaan sikap khianat bawah sadar yang berbungkus kesucian ini adalah sebuah perusakan moral dan jiwa anak bangsa yang sangat keji!
Jangan heran bila kondisi pada era tahun 2000-an ini masih tetap sama : negeri dihisap oleh korporasi asing dengan izin kerja dan konsesi yang diberikan oleh para mandor (komprador) lokal kita sendiri yang selalu membungkusnya dengan jargon-jargon agama. "Berjuanglah untuk agama" tiada lain artinya adalah "Berjuanglah untuk KEKUASAAN KAMI (penguasa pemerintahan dan agama)tas rakyat dan negeri ini". Semenjak 'kebijaksanaan' Otonomi Daerah diberlakukan, lihatlah bagaimana korupsi segera meledak di berbagai penjuru Nusantara. Bagaimana para Kepala Daerah bak raja-raja kecil yang hendak mengungkungi daerah perdikan-nya. Berapa banyak pungutan yang sudah diambil dar kalangan rakyat dan pengusaha? Mengapa sepertinya pembangunan jalan di tempat? Kemanakah dana raksasa itu?
Untuk jangka panjangnya, tentu hal ini sesuatu yang membahayakan keutuhan NKRI. Karena NKRI "dijajah" korporasi (hehe...dijajah kok dijajah perusahaan) tiada lain adalah karena raja-raja kecil yang selalu bersaing (berperang) tanpa mau bersatu. Marilah persatuan bangsa yang susah payah telah digalang oleh Bapak Proklamasi Kemerdekaan kita Ir.Soekarno kita jaga melalui penyadaran hal yang sangat mendasar dan penting ini. Tanpa itu, kita akan kembali ke jaman Feodalisme. Feodalisme modern yg berlandaskan fasisme.
Saya memperjuangkan kemerdekaan rakyat dalam artian seutuhnya, tidak hanya sisi lahir yg kasat mata, tapi juga sisi jiwa / batinnya. Oleh karena itu budaya dan tradisi lokal yg merupakan kristalisasi jiwa asli haruslah digali kembali dan dilestarikan. Ehhhh.....yang menuduh saya feodal dan bersifat kedaerahan ya juga mulut-mulut mereka itu juga. Luarbiasa lidah tak bertulang apalagi bercabang dua. Pantas saja rakyat terbelah satu pro kiri satu pro kanan. Rupanya dipermainkan oleh satu kepala denngan dua tangan. Inilah arti pentingnya memahami Jalan Tengah sebagai sarana untuk menuju Kemerdekaan Sejati.
.....Hong Mandera ulum Basuki langgeng
Dr. Ir. Hadi Prajoko,SH, MH
Rahayu!
0 komentar:
Posting Komentar