*Menyimak Aksi Solidaritas Pengemudi Ojol: Refleksi atas Duka, Keadilan, dan Masa Depan Kolektif*
Minggu, 31 Agustus 2025
Oleh : Akaha Taufan Aminudin
Tulisan Denny JA tentang kematian Affan Kurniawan dan gelombang solidaritas pengemudi ojek online (ojol) membuka panggung diskusi mendalam tentang ketidakadilan sosial, ketangguhan komunitas gig economy, dan arah perubahan sosial di Indonesia.
Dalam suasana penuh gejolak dan haru, kita diajak merenungkan tiga skenario masa depan solidaritas ini—apakah ia akan padam perlahan, bertumbuh menjadi gerakan kuat, atau melebur menjadi gelombang sosial nasional. Artikel ini mengajak pembaca tidak hanya terhenti pada duka, melainkan mengundang refleksi akan keberanian kita sebagai bangsa untuk menghadirkan perubahan nyata.
Ketika satu nyawa yang terenggut memecah keheningan bangsa, hendaknya kita bertanya: mengapa rasa kehilangan itu menyebar hangat dan mendalam? Begitulah yang diutarakan Denny JA dalam tulisannya tentang Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojol yang wafat tragis, namun menghadirkan solidaritas meluas ke berbagai kota. Apa yang menjadikan kisah Affan begitu ikonik sehingga bergaung hingga ke pelosok negeri?
Pada permukaan, kematian Affan adalah tragedi seorang pekerja yang terlanggar mesin besar kehidupan kota. Namun lebih jauh, ia menjelma menjadi simbol rapuhnya perlindungan bagi para pekerja gig economy—komunitas yang seringkali bergerak dalam bayang-bayang teknologi tanpa sandaran kepastian sosial.
Solidaritas yang meledak di Surabaya, bergolak di Semarang, mencair dalam doa di Batu, atau bergema di Medan dan kota-kota lainnya, mengingatkan kita pada jaringan sosial yang membentang dalam dunia digital, sekaligus kesamaan pengalaman sosial yang menyatukan.
Dalam era di mana informasi berlalu-lalang secepat kilat melalui grup WhatsApp dan Telegram, kabar duka tak lagi hanya cerita melankolis, tapi menjadi trigger kolektif yang membuka ruang dialog dan aksi. Solidaritas ini, seperti catatan Denny JA, bisa jatuh ke dalam tiga skenario masa depan: sebagai nyala api yang meredup, membara menjadi gerakan sosial terorganisir, atau bahkan melebur dengan gelombang protes sosial yang lebih luas.
Skenario pertama memang realistis—seringkali gerakan spontan terkikis oleh kelelahan dan minimnya struktur. Namun bahkan dalam redupnya, Affan tetap hidup di dalam puisi, mural, dan ingatan kolektif, menjadi lambang makna yang tidak lekang oleh waktu. Marsinah di era 90-an menjadi contoh historis, dimana penderitaan seorang individu mampu menjadi kekuatan simbolik yang terus membara.
Skenario kedua menantang kita untuk beranjak dari protes emosional dan bertransformasi menjadi gerakan advokasi yang terorganisir. Di sinilah pentingnya pengakuan atas "upah minimum algoritmik" dan perlindungan sosial bagi para pekerja digital—bukan mimpi semu, tapi kebutuhan mendesak. Negara dan platform teknologi harus memikirkan kerangka hukum yang tidak hanya menghargai, tetapi melindungi. Balutan hukum dan jaring sosial adalah yang menguatkan figur kolektif tersebut.
Skenario ketiga adalah gambaran lebih radikal: meleburnya solidaritas ke dalam keresahan publik yang lebih besar, yang bisa mengguncang tatanan sosial dan politik nasional. Meski Prabowo diperkirakan masih bertahan di puncak kepemimpinan hingga 2029, ketegangan sosial di bawahnya menjadi sinyal peringatan. Apakah kita siap menghadapi gelombang perubahan yang tidak hanya menuntut keadilan bagi satu kelompok kecil, melainkan mendobrak ketimpangan yang sudah lama terpendam?
Bicara soal solidaritas bukan hanya soal ikut berduka, melainkan mengapresiasi peran rakyat kecil dalam merajut sejarah bangsa. Keberadaan mereka yang "di jalanan" seringkali dianggap sunyi dan terpinggirkan, namun sikap keberanian mereka justru membentuk denyut nadi perubahan sosial. Dalam konteks ini, kita dihadapkan pada refleksi kritis: apakah negara adalah pelindung yang hadir dan memberi napas, atau justru mesin besi yang mereduksi hak-hak dasar?
Sitiran Chairil Anwar, “Sekali berarti, sudah itu mati,” menjadi sindiran sekaligus harapan. Affan telah gugur, dan semangatnya sedang diuji di hadapan negeri ini: apakah hidupnya berarti saat ini dan masa depan? Apakah para pengemudi ojol, simbol gig economy yang melekat pada wajah modernitas, akan terus berjuang sebagai entitas mandiri yang mampu menuntut haknya?
Kematian Affan bernilai lebih dari duka lugu dan isak tangis; ia adalah panggilan bagi kita semua untuk lebih peka terhadap realitas sosial yang tersamar teknologi. Pemerintah didorong untuk menata ulang kerangka perlindungan melalui kebijakan konkret seperti asuransi kesehatan wajib dan regulasi upah yang adil. Sebab tanpa akar perlindungan yang kuat, gerakan solidaritas hanya akan seperti ombak kecil yang pecah di bibir pantai, hilang dan tak berdampak.
Mari kita melangkah lebih jauh dari sekadar empati dan protes simbolik. Melalui refleksi mendalam dan aksi kolektif yang terencana, kita bisa mewujudkan bahwa kematian Affan Kurniawan bukanlah aksi solidaritas yang mati di jalanan, tapi benih sebuah perubahan sosial yang akan terus tumbuh dan berdampak.
Penutup yang Menggugah:
Dalam dunia yang semakin digital dan penuh tantangan ketimpangan, solidaritas bukan sekadar kata-kata manis. Ia adalah energi kolektif yang merendahkan ego, membuka ruang dialog, dan menuntut keadilan nyata. Dari Surabaya hingga Makassar, dari doa hingga teriakan, mari kita renungkan bersama—apakah kita cukup mendengar dan bertindak?
Sebab sejarah bangsa ini, pada akhirnya, ditulis bukan oleh elit saja, tapi oleh hati dan darah mereka yang ada di akar rumput.
Tulisan ini diharapkan membuka ruang diskusi dan menggugah perhatian banyak pembaca mengenai isu sosial yang kian relevan. Bagikan jika Anda merasa solidaritas tidak hanya perlu dipandang lewat mata duka, melainkan aksi nyata yang membangun!
Sabtu Wage 30 Agustus 2025
Akaha Taufan Aminudin
Sisir Gemilang Kampung Baru Literasi SIKAB Himpunan Penulis Pengarang Penyair Nusantara HP3N Kota Batu Wisata Sastra Budaya SATUPENA JAWA TIMUR
Referensi Tambahan:
Sidney Tarrow, Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics, Cambridge University Press, 2011.
Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, Verso, 2006.
Denny J.A's World
Read more...