Menunda Haid dengan Obat untuk Ibadah Umroh: Antara Medis dan Fiqih

Sabtu, 30 Agustus 2025


Oleh dr. H. Sukma Sahadewa (Jamaah JASNU Surabaya).



Bagi jamaah perempuan, datangnya haid saat melaksanakan ibadah umroh sering menjadi kekhawatiran tersendiri. Bagaimana tidak, sebagian ibadah seperti thawaf, sa’i, dan shalat di Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi mensyaratkan kondisi suci. Tidak heran, banyak perempuan yang mencari jalan agar ibadah tetap dapat dijalankan dengan tenang. Salah satu solusi yang ditawarkan dunia medis adalah penggunaan obat penunda haid.


Secara medis, obat penunda haid bekerja dengan mengatur keseimbangan hormon, sehingga siklus menstruasi bisa ditunda sementara. Obat yang paling sering digunakan adalah norethisterone (Primolut N), diminum beberapa hari sebelum jadwal haid, lalu diteruskan hingga selesai ibadah. Obat ini sudah lama dipakai oleh jamaah haji maupun umroh dan terbukti cukup efektif. Namun, seperti semua obat, ia tidak lepas dari kemungkinan efek samping, mulai dari mual, payudara tegang, hingga bercak darah. Pada mereka yang punya penyakit hati, hipertensi berat, atau riwayat pembekuan darah, penggunaan obat ini sebaiknya dihindari. Konsultasi medis sebelum berangkat mutlak diperlukan.


Lalu bagaimana pandangan fiqih terkait hal ini? Mayoritas ulama membolehkan penggunaan obat untuk menunda haid, selama obat tersebut aman dan tidak menimbulkan mudarat. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ menyatakan, “Tidak mengapa seorang perempuan menggunakan obat untuk menahan haidnya, dengan syarat tidak berbahaya baginya.” Ulama kontemporer juga menegaskan hal serupa. Fatwa Lajnah Daimah Arab Saudi, misalnya, memperbolehkan perempuan menggunakan obat penunda haid untuk melaksanakan haji dan umroh, selama atas rekomendasi dokter. Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga pernah menyatakan bahwa menunda haid demi kemaslahatan ibadah hukumnya mubah, dengan catatan tidak membahayakan kesehatan.


Dengan demikian, dari sisi syariat, penggunaan obat ini diperbolehkan dan tidak bertentangan dengan ajaran agama, selama memenuhi dua syarat penting: aman bagi kesehatan dan diniatkan untuk kemaslahatan ibadah. Di sinilah sinergi antara medis dan fiqih terlihat jelas. Dunia medis memberi jalan agar jamaah bisa beribadah lebih nyaman, sementara fiqih memberikan legitimasi bahwa ikhtiar tersebut sah dilakukan.


Namun demikian, pilihan tetap berada di tangan jamaah. Ada yang merasa lebih nyaman dengan bantuan obat, ada pula yang memilih mengikuti siklus alami tubuh dan menyesuaikan ibadahnya. Tidak ada yang salah, sebab keduanya memiliki dasar yang dapat dibenarkan. Yang paling penting adalah kesadaran untuk menjaga kesehatan diri. Sebab tubuh yang sehat adalah amanah Allah, dan dengan tubuh sehat pula ibadah bisa dijalankan dengan lebih khusyuk.


Pada akhirnya, menunda haid dengan obat adalah ikhtiar medis yang dibolehkan syariat. Tetapi, menerima takdir datangnya haid dan mengatur ibadah sesuai kondisi juga merupakan bentuk ibadah yang tak kalah mulia. Dua pilihan ini sama-sama terhormat, tinggal bagaimana seorang perempuan menentukan mana yang lebih tepat bagi dirinya. Yang jelas, kesehatan harus tetap menjadi prioritas, karena ibadah yang sempurna lahir dari jiwa yang ikhlas dan tubuh yang terjaga.

 

0 komentar:

Posting Komentar

About This Blog

Blog Archive

  © Blogger template On The Road by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP